CANDITA #23: MARHABAN DI MARABAHAN

MARHABAN DI MARABAHAN

CANDITA #23

“Pergilah, niscaya engkau temukan ganti atas apa yang kau tinggalkan.

Bekerjalah, karena kenikmatan hidup itu bisa dirasakan dengan kerja keras.

….

Jika air mengalir maka akan jernih,

namun jika berhenti (menggenang) maka akan keruh.

….

Kamu seperti anak panah,

harus lepas dari busur untuk mencapai sasarannya”

(Imam Syafi’i)

KADO AKHIR TAHUN

Atas izin Allah, saat ini saya berada di Marabahan. Eit, tunggu dulu, jangan buru-buru bertanya nama apakah itu, dimanakah letaknya, dan seberapa jauh tempatnya? Pastinya, kebanyakan kita belum tahu dimanakah letak Marabahan itu. Sebagaimana Anda, saya pun demikian. Pertama kali saya tahu ada kota bernama Marabahan adalah setelah saya menerima SK Penempatan Hakim untuk yang pertama kalinya. Sesuai tradisi dan administrasi, penempatan pertama bagi hakim harus di luar Pulau Jawa, atau tepatnya di pengadilan Kelas II, yang secara substansi perkara belum terlalu banyak dan bervariasi.

Saya teringat suatu pesan moral dalam Surat An-Nahl ayat 43, “bertanyalah kepada ahlinya jika kamu tidak mengetahuinya”, maka tak lama setelah saya menerima SK itu, saya segera menghubungi kawan-kawan yang bertugas di Banjarmasin, diantaranya Miftah Farid, Abdul Gofur, dan Rasyid Rizani. Mereka adalah teman satu angkatan yang juga telah menerima penempatan masing-masing di Maumere, Ende, dan Bajawa. Dari merekalah saya diberitahu sedikit gambaran tentang Marabahan.

“Marabahan enak, Kang. Tempatnya sejuk.” Hmm… demikian info yang saya dapat dari mereka.

Mereka pun menambahkan: “Wah beruntung Kang Edi dapat penempatan di Marabahan, selamat ya Kang.” Mereka menambahkan.

Selain itu, saya juga dapat informasi dari mereka bahwa jarak Bandara Syamsudin Noor di Banjarbaru kurang lebih tiga jam ke Marabahan. Tapi, ada juga yang bilang hanya satu jam setengah, atau dua jam. Mungkin saja jika dikawal voorider J

Hati saya jadi sedikit ‘berbunga’ mendengarnya, karena tidak se-ekstrim di tempat lain. Saya merasa ‘terhibur’ dengan informasi-informasi itu, dan saya jadikan itu sebagai kado di akhir tahun, sekalipun banyak juga informasi ‘miring’ yang saya dapat tentang Marabahan yang konon dikenal kota paling ujung di Kalimantan Selatan.

Untuk menyebut Marabahan, awalnya saya sering tertukar antara Marabahan dan Marhaban. Jadi, sekalian saja untuk mengenang itu saya abadikan menjadi judul Candita #23 kali ini dengan “Marhaban di Marabahan”. Sebenarnya, secara kaidah bahasa Arab, setiap ada kata “marhaban” maka diikuti dengan huruf sambung “bi” seperti ”Marhaban biquduumikum” (selamat datang), atau diikuti kata sebutan “yaa”, seperti “Marhaban Yaa Ramadhan” (selamat datang bulan Ramadhan). Untuk kali ini, dan untuk keindahan bahasa maka saya padukan antara bahasa Arab dan bahasa Indonesia (hehe maksa nih ceritanya).

Selain bertanya kepada teman-teman, saya juga bertanya semua tentang Marabahan kepada pakarnya, yaitu Prof. Dr. Google.com. Dari hasil penelusuran, saya mendapatkan informasi Marabahan adalah sebuah kecamatan sekaligus merupakan ibukota Kabupaten Barito Kuala, Provinsi Kalimantan Selatan. Marabahan merupakan pemekaran dari Kecamatan Bakumpai menurut Peraturan Pemerintah RI No. 28 Tahun 1995. Pada abad ke-15, Kecamatan ini merupakan bandar perdagangan Kerajaan Negara Daha yang disebut Bandar Muara Bahan, karena terletak di muara sungai Bahan.

Sebagai sebuah Kabupaten, Barito Kuala memilki luas 3.284 KM2, terdiri dari 16 kecamatan (termasuk Marabahan), dengan populasi jumlah penduduk 276.066 jiwa (tahun 2010). Suku aslinya adalah suku Banjar dan suku Dayak Bakumpai (di Kecamatan Bakumpai, Kuripan, Tabukan). Namun, secara statistik, di Kabupaten ini juga terdapat beberapa suku lain dengan jumlah yang tidak sedikit, seperti suku Jawa (37.121 jiwa), suku Sunda (1.249 jiwa), suku Buket (826 jiwa), suku Madura (299 jiwa), suku Bugis (211 jiwa), suku lainnya (3.126 jiwa).

Setelah menghimpun informasi, saya pun membulatkan niat dan berangkat ke Marabahan ditemani isteri tercinta tanggal 27 Desember 2011 dan pelantikan dilaksanakan Kamis 29 Desember 2011 persis seperti kado di akhir tahun. Pesawat kami take off pukul 05.45 WIB, sengaja kami pilih yang paling pagi, selain alasan banyak agenda yang harus ditempuh sesampainya di Banjarmasin, juga karena penerbangan pukul segitu termasuk tiket promo, maklum biaya mutasi yang saya dapat hanya untuk sendiri, karena saat pengajuan pendefinitipan masih terhitung sendiri, maka kami harus belajar hemat hehehe….

Dari atas pesawat yang kami tumpangi, terlihat banyak guratan sungai, maka pantas saja Kalimantan Selatan dikenal dengan Kota Seribu Sungai. Tak heran jika Pak Wahyu, yang menjemput kami di Bandara, bilang: “Dari Banjarmasin ke Marabahan kita akan melewati sekitar 40 jembatan sungai kecil, dan satu jembatan besar bernama Rumpiang yang melewati sungai Barito. Dua jembatan diantaranya tergolong kritis dan dalam perbaikan…”, eng… ing… eng… petualangan Si Bolang pun dimulai hehehe…

Sepanjang perjalanan Banjarmasin-Marabahan, saya banyak bertanya kepada Pak Wahyu yang asli orang Marabahan. Dengan penuh sabar dan senyum ramah, Pak Wahyu yang Pegawai Negeri di salah satu rumah sakit pemerintah itu, menjawab berbagai pertanyaan saya, persis seperti guide tour profesional. Maka saya sarankan Pak Wahyu untuk buat travel profesional.

“Rumah di sini di atas rawa dan sungai, Pak?” saya mengawali pertanyaan memecah kesunyian dibawah rintiknya gerimis di Kalimantan Selatan.

“Inggih, memang begitu.” Jawab Pak Wahyu, dengan logat Banjar yang kental.

“Air sungainya tidak meluap, Pak?” pertanyaan itu saya ajukan karena saya melihat jarak antara permukaan air sungai dan lantai rumah hanya sekitar satu centimeter (tapi belum valid juga sih, soalnya belum sempet ngukur dan ga bawa penggaris hehe)

“Tidak meluap, Pak.” Jawabnya singkat. Kemudian Pak Wahyu pun menjelaskan panjang lebar, “Air sungai di sini mengalir, Pak. Jadi tidak khawatir meluap. Kayu yang dijadikan penopang itu namanya kayu ulin. Menurut orang sini, usia kayu itu mengalahkan usia manusia karena bisa kuat sampai seratus tahun. Biaya membuat rumah disini terhitung mahal, karena harus lebih dahulu membangun penopang dan panggung. Kemaren saya baru membangun rumah, untuk penopang dan lantai panggungnya saja saya sudah habis sekitar 25 juta rupiah.”

Sehari setelah Pak Wahyu menjelaskan ini, ada berita foto di Banjarmasin Post: Kantor KPUD Barito Kuala terendam banjir karena air sungai meluap, padahal akan diresmikan oleh Ketua KPU Pusat. Mungkin, penjelasan Pak Wahyu harus ditambahkan “kecuali daerah tertentu yang rawan banjir” hehe…

Saya asyik mendengarkan cerita Pak Wahyu sambil mengitari pandangan sepanjang jalan. Sementara itu, isteri saya nampak asyik memandangi jalan yang tak berujung.

Pak Wahyu pun melanjutkan ceritanya,

“Sepanjang jalan ini di kanan kiri kita adalah rawa dan sungai. Ada pohon kayu ulin tumbuh di sini dan biasanya digunakan untuk penopang rumah. Bangunan di Marabahan pun sama seperti ini. Marabahan itu enak untuk istirahat karena jauh dari kebisingan. Biasanya hari Sabtu dan Minggu di Marabahan terasa sepi, karena mayoritas penduduknya pergi menuju Banjarmasin, Ibu Kota Provinsi Kalimantan Selatan.”

Dari cerita Pak Wahyu, saya mulai punya gambaran tentang Marabahan…

“Kota Marabahan itu kecil, Pak. Kalau Pian (panggilan sopan untuk Anda) keliling naek motor sekitar 10-15 menit pun sudah bisa mengelilingi semua kota Marabahan. Marabahan dikelilingi oleh sungai, tidak dilalui oleh kendaraan umum karena bukan jalur trans penghubung antarkota.”

Saya mengernyitkan dahi. Mengatur nafas. Mencoba merangkum penjelasan Pak Wahyu tadi…

Lalu… Pak Wahyu pun bilang, “Nah, ini jembatan rumpiang yang mirip dengan salah satu jembatan Sydney di Australia. Jembatan ini dikenal dengan Sydney-nya Indonesia. Jembatan ini diresmikan oleh Presiden SBY tanggal 25 April 2008. Kalau sudah sampai sini, berarti kita sebentar lagi sampai Kota Marabahan.”

Panjang jembatan Rumpiang 753 meter dengan bentang utama sepanjang 200 meter menggunakan konstruksi pelengkung rangka baja. Mulai dibangun sejak tahun 2003 dengan APBD dan APBN mencapai Rp 174,5 milyar.

Alhamdulillah, dalam batinku. Setelah perjalanan panjang dengan pemandangan rawa dan sungai, akhirnya sampai juga di Kota Marabahan. Tanpa banyak tanya saya merekam setiap sudut Marabahan dengan pandangan tajam 15 megapixel (lebay hehe). Dan, semuanya persis seperti yang digambarkan Pak Wahyu tadi.

JAUH DEKAT, TETAP SEMANGAT

Bagi kami, Cakim Angkatan Lima, pengalaman penempatan hakim di daerah nun jauh ini adalah pengalaman pertama dan paling menantang. Makanya kawan-kawan yang sudah sampai di tempat baru, biasanya saling curhat. Berbagai forum menjadi ajang curhat mereka. Facebook, tweeter, BBM, dan sebagainya. Satu sama lain saling bertukar informasi dan pengalamannya ditempat yang baru.

Perlu diketahui, menurut Kasubdit Mutasi Hakim seperti yang dikutip kawan kami Ahmad Sarqowi dalam sebuah group facebook tentang penempatan hakim angkatan lima, “pola penempatan hakim angkatan lima di peradilan agama mengikuti pola penempatan hakim di peradilan umum, makanya angkatan lima ini penempatannya jauh-jauh.”

Menanggapi itu, salah seorang kawan kami menyampaikan kesan melalui group Blackberry Messenger (BBM), “Menurut informasi itu, angkatan lima menjadi starting point Badilag dalam penempatan hakim pertama dengan meniru sistem Badilum. Tapi perlu juga diingat, tanpa bermaksud mengeluh, bahwa apa yang telah diterapkan di peradilan umum itu sudah dilengkapi dengan berbagai fasilitas rumah dinas, jadi penempatan dimanapun tidak lagi bingung tinggal dimana. Sementara di peradilan agama harus lebih dulu mencari kontrakan atau rumah dinas.”

Yah, memang begitu kondisi riil di lapangan. Sistem penempatan yang mengadopsi sistem penempatan perdilan umum, memang akan diterapkan oleh Mahkamah Agung melalui badan peradilan masing-masing. Seperti halnya saya, di Marabahan sangat jarang orang mengontrakkan rumah atau kostan, karena orang akan berpikir jika tidak ada yang mengontrak, maka akan rugi. Tapi, untung masih ada Mess bekas kantor PA Marabahan yang lama dan sekarang dijadikan tempat tinggal sebagian hakim dan pegawai PA Marabahan yang tidak mendapat kontrakan atau kost. Mess yang menurut Ketua PA Marabahan “seadanya dan hanya menyediakan ruangan kosong” ini memang sangat sederhana, yang penting cukup untuk istirhat.

Cerita penempatan hakim ini menjadi menarik disimak, terlebih bagi mereka yang akan mendapatkan penempatan pertama nantinya. Mereka yang ditempatkan jauh di daerah harus ikhlas dan sabar, terlebih mereka yang jauh dari isteri dan anak tentu akan berdampak pada psikologis anak. Nah, di tengah kondisi seperti itu, harus ada penyulut semangat. Dalam literatur Islam, ada ayat al-Quran yang menjelaskan tentang mulianya berhijrah dari satu tempat ke tempat yang lain, seperti dalam Surat At-Taubah ayat 20 ini:

“Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.”

Dan, bukankah Rasulullah adalah inisiator dan lokomotif hijrah terbesar sehingga terkenal dengan tahun Hijriyyah? Hijrah dari Mekah ke Madinah. Hijrah menuju perbaikan kualitas hidup. Hijrah jiwa dan raga.

Guru besar kita, Imam Syafii, pernah menuliskan syair tentang keutamaan berhijrah. “air yang mengalir itu lebih baik ketimbang air yang menggenang”, begitulah Imam Syafii menggambarkan keutamaan hijrah, seperti air yang jernih karena ia mengalir, maka dengan berhijrah, hati dan fikiran kita akan jernih seperti filosofi air tersebut.

Mudah-mudahan perjalanan kita dalam mengemban tugas menegakkan kalimat kebenaran, menjadi ibadah dan termasuk golongan seperti dalam ayat al-Quran, prilaku Nabi, dan syair Imam Syafii tersebut. Jadi, mau tidak mau, jauh-dekat tetap semangat, kan? Hehe..

Baiklah, mengakhiri Candita kali ini, saya teringat iklan Indomie yang endingnya sangat populer itu: “Ini ceritaku. Apa ceritamu?” J

Candita = Catatan Edi Hudiata

Kamis, 29 Desember 2011 WIB

Marabahan, Barito Kuala, Kasela