ANTARA AKU, KAU DAN KARYAMU

[apresiasi dan ‘iri’ atas buku “Melihat Tanpa Mata”]

CANDITA #18

 

 

Buta hati lebih berbahaya

Buta mata tidak nampak dunia

Buta hati tidak nampak kebenaran

Buta hati ditipu nafsu dan syetan

(The Fikr featuring Aa Gym “Antara Mata dan Hati”)

 

 

 

MENGENAL ABDUL LATIEF               

Ada kesenangan yang luar biasa saat saya membaca buku “Melihat Tanpa Mata” karya sahabatku, Abdul Latief. Pasalnya, dalam buku setebal seratus delapan puluh halaman ini, banyak cerita yang direkam oleh Latief selama menjalani hidupnya. “Senang, sedih, marah, bahagia, suka dan benci” adalah sejumlah rasa yang Latief rekam dalam buku ini semasa hidupnya yang juga kerap menghinggapi setiap manusia di bumi ini, “tak ada satupun dari kita yang luput dari terpaan rasa itu, yang berbeda hanyalah kadar dan cara kita menyikapinya” lanjut Latief dalam Beranda Kata-nya, seperti seorang waitress yang menjelaskan menu favorit yang paling direkomendasikan dari sekian menu yang tertulis dalam daftar. Dan, yang paling saya terharu adalah, Latief juga menuliskan dua judul “Hukumnya Enak!” dan “Koin Penyok Milikku” khusus merekam tentang perjalanan hidupku.

 

Interaksi saya dan Latief bermula sejak kami sama-sama di pesantren Daar e-Qolam. Meskipun ia satu tingkat di atasku, namun kesamaan hobi menjadikan kami sering bertemu dalam suatu organisasi. Daar el-Qolam English Community (DEC), Forum Diskusi Daar el-Qolam (Fordis), Pelajar Islam Indonesia (PII), Ikatan Santri Madrasatul Mu’allimin al-Islamiyah (ISMI/OSIS), Pasukan Khusus Pramuka, adalah beberapa organisasi yang kami sempat berada di dalamnya. Latief memang dikenal cerdas, terbukti dengan prestasi yang ia raih setiap tahun menjadi Juara Umum di tingkatnya dan beberapa kali Juara Pondok (Jupon).

 

Sejujurnya, sekalipun Latief dikenal cerdas, tapi saya meragukan ia bisa menang pada suatu saat menjadi kandidat Ketua ISMI/OSIS, karena ia tidak tinggal di pesantren dan kurang mengenal bagaimana hidup di dalamnya, melainkan ia pulang ke rumahnya yang hanya beberapa meter dari pesantren. “Meskipun saya tinggal di rumah, tapi saya tidak pernah ketinggalan kegiatan pesantren. Prestasi yang saya terima juga merupakan kesungguhan saya di pesantren.” demikian Latief menjawab keraguanku dan juga beberapa orang lainnya dalam suatu Debat Kandidat yang akhirnya mengantarkan ia menjadi Ketua ISMI/OSIS.

 

Secara langsung maupun korespondensi e-mail, interaksi kami rupanya menjadi inspirasi bagi Latief untuk ikut mewarnai bagian hidupnya. Dan saya amat senang dan tersanjung masuk dalam bukunya. Saya pun tergugah untuk menulis resensi bukunya, dan segera mengirim pesan singkat kepada Latief: “Tif, buku lo udah ada yang resensi belum? Kalau lo ga keberatan gw akan coba resensi yah?”, semangat menulis resensi itupun saya kabarkan kepada sahabat saya Fety Febriyanita melalui pesan singkat: “Fey, udah baca buku Melihat Tanpa Mata? Nama kita disebutkan dalam Beranda Kata sebagai sahabat yang senantiasa setia menanti tulisannya lewat email. Kakak harus bikin tulisan untuk buku ini, sebagai bentuk apresiasi dan ‘iri’ pada Latief.”

 

Sebenarnya, sejak awal Latief sudah memberi tahu akan menerbitkan buku yang diambil dari beberapa catatan hidupnya. Bahkan pada saat akan launching di Rumah Dunia pun Latief mengundangku untuk datang, namun pada saat yang sama saya masih berada di Mega Mendung, Bogor, untuk pendidikan dan pelatihan Calon Hakim. Sekalipun demikian, saya benar-benar tidak tahu jika dalam buku itu juga ada dua cerita yang secara khusus dituliskan Latief merekam perjalanan hidupku. Yah, kami memang sering berbagi pengalaman hidup melalui tulisan. Dua judul dalam buku yang bercerita tentangku ini pun sebenarnya ia tuliskan dalam moment saya sedang gundah, lalu ia ‘menasehatiku’ melalui tulisan ini. Bahkan, pada suatu kesempatan Latief pernah menanyakan kegundahan yang tercermin di wajah saya, saya pun menjawabnya dengan  mengirimkan Candita yang tidak saya publikasikan, itu artinya hanya kepada Latief saya berbagi cerita itu, karena saya merasa yakin dia pernah mengalami hal yang sama sebelumnya seperti yang saya tuliskan dalam Candita itu.

 

Seperti yang dituliskan dalam Beranda Kata, Latief mulai menulis sejak ia menyadari “butuh media yang lebih santun melampiaskan amarah, sedih dan hujaman.” Sebelumnya, Latief mengekspresikan rasa itu dengan cara yang (mungkin) kurang santun seperti: menghantamkan tinju ke pohon dan tembok saat kecewa dan marah, mengurung diri di kamar dalam lautan kesedihan, memecahkan piring dan gelas serta mematahkan kaki kursi, dan berkelahi dengan dengan rekan-rekan yang berselisih paham dengannya. Hal itu ia lakukan, “sampai pada suatu titik balik, saat ayahku harus dipanggil menghadap-Nya, aku sadari bahwa mamaku tak akan kuat seorang diri menghadapi polah tingkahku yang brutal ini. Haruskah aku membuat mamaku selalu meneteskan air mata menghadapi keonaran yang aku buat, sedangkan hidup yang ditanggungnya kian berat?”, begitulah Latief yang telah menemukan hikmah di balik cerita dukanya.

 

Anda tahu bagaimana pertama kali Latief mempublikasikan tulisannya? Wuih, saya ampun-ampunan bacanya (sedikit lebay biar lebih seru bacanya hehe). Tulisan Latief yang ia publikasikan di blog dan e-mail itu acak-acakan tak beraturan. Tak nyaman dilihat sehingga jika anda membacanya akan pusing mana paragraf, alinea baru, titik, koma dan sebagainya. Intinya, Latief sama sekali tidak takut diomelin J.S. Badudu yang sudah sekian lama melakukan penelitian tentang struktur Bahasa Indonesia yang baik dan benar J. Saat kutanya kenapa, ia menjawab “biarlah begitu, ane pengen buat tulisan yang ane merasa nyaman, tidak terkontaminasi oleh hal luar”. Tapi, Latief memang seorang pembelajar, pada publikasi berikutnya, ia sudah menuliskan dengan rapi dan enak dibaca. Satu kalimat buat Latief: “Akhirnya lo insyaf kembali ke jalan yang benar hehehe…”.

 

MENYENTUH HATI

Buku yang diterbitkan oleh Gong Publishing ini, secara keseluruhan adalah cerita tentang perjalanan hidup yang menyentuh hati Latief dengan lingkungan sekitarnya. Pekerjaannya sebagai Sales Training Instructure di salah satu perusahaan multinasional, PT Astra International Tbk., mengharuskannya keliling ke setiap cabang di daerah seluruh Indonesia. Luar biasa! Masih muda tapi pengalaman sudah bisa mengelilingi seluruh Indonesia. Terakhir, menjelang akhir Ramadhan 1431 H, saat saya mengajaknya berbuka puasa, ia sedang berada di Papua untuk tugas yang sering ia sebut dengan ‘jualan suara’. Tak ayal, sebagai teman kami sering berseloroh “jika saat ini kita lihat kendaraan motor semakin memadati jalanan, maka yang paling harus disalahkan adalah Latief, karena ia lah yang mengajari agar tercapai peningkatan penjualan motornya hahaha…”.

 

Judul buku ini “Melihat Tanpa Mata” merupakan cerita seorang sahabat bernama Dudu Hafidz yang mengalami buta mata, namun tetap survive dan menatap dunia dengan mata hatinya. Dan judul ini diambil dari salah satu judul tulisan yang terdapat pada Selasar Empat: Catatan Tentang Sahabat. Untuk mempermudah pembaca, penulis mencoba menyajikan tulisannya berdasarkan tematik. Ada enam tema dalam buku ini yang disebut penulis dengan ‘selasar’, Selasar Satu: Catatan Tentang Seni Berkehidupan,  Selasar Dua: Catatan Tentang Realita Sosial, Selasar Tiga: Catatan Tentang Keluarga, Selasar Empat: Catatan Tentang Sahabat, Selasar Lima: Catatan Tentang Entrepreneurship, dan yang terakhir Selasar Enam: Catatan Tentang Cinta. Dua cerita tentang hidupku ditempatkan di Selasar Dua dan Selasar Empat. Jika diibaratkan daftar menu, para pemesan diperbolehkan memesan menu secara acak tanpa harus berurutan. Anda bisa baca dari depan, tengah atau belakang, semuanya memiliki daya tarik tersendiri sehingga pada akhirnya mengharuskan Anda untuk ‘melahap’ buku ini secara tuntas.

 

Buku yang ditulis dengan gaya bahasa bertutur (feature), dengan enam tema berbeda, pastinya  memiliki aneka rasa yang beragam, seperti endorsement Gol A Gong di kulit muka buku ini, “Hidup bagaikan jus; berisi segala macam rasa. Kekuatan buku ini terletak pada aneka rasanya!”  Namun, keaneka rasaan itu semuanya berasal dari satu hati yang tersentuh oleh keadaan sekitar. Latief dengan penuh renungan menulis, “Sejenak kutermenung di depan laptop yang tengah menatapku gamang, kucoba menelusuri labirin memoriku, mencari jawab atas masalah yang dihadapi mereka. Bagiku ini bukan hanya masalah mereka, melainkan juga masalah tersendiri bagiku.”

 

Keenam selasar dalam buku itu pada dasarnya bisa dikelompokkan menjadi dua bagian, bagian pertama tentang sosial termasuk di dalamnya adalah Selasar Satu, Selasar Dua, dan Selasar Lima. Sementara bagian kedua tentang cinta termasuk di dalamnya adalah Selasar Tiga, Selasar Empat dan tentu saja Selasar Enam yang temanya tentang Cinta. Namun demikian, barangkali penulis memiliki tujuan tersendiri maka dibuatlah menjadi enam selasar.

 

Karena tulisan ini bergaya tutur, jadi Anda tidak perlu mengernyitkan dahi untuk memahami setiap tulisan di dalamnya. Bahkan beberapa diantaranya dibumbui anekdot yang menyegarkan. Jika Anda ingin tahu apakah ada yang lebih berharga dari uang, pangkat, jabatan, dan popularitas. Maka di Selasar Satu Anda akan temukan Latief mengajak kita untuk mengejar hal yang lebih berharga dari yang disebutkan di atas. Dan latief juga mengajak kita untuk mencari keseimbangan hidup dunia-akhirat.

 

Anda pernah melihat atau mendengar orang yang berjalan melawan arus? Tentu bisa dibayangkan betapa orang mencemooh dan mencibirnya kan? Tapi, bagaimana jika ternyata yang berjalan melawan arus itu justru orang yang benar-benar ingin berjalan sesuai markanya, sementara yang lainnya salah jalan? Masihkah Anda akan mencemooh satu orang itu? Nampaknya, seru juga jika Anda menikmati Selasar Dua sambil menyeruput secangkir tah hangat, dan jangan lupa cerita berjudul “Hukumnya Enak!” itu adalah cerita tentang perjalanan hidupku lho J.

 

Di Selasar Tiga Anda bisa menemukan bagaimana indahnya hidup berkeluarga. Maka, bagi mereka yang belum tersadarkan akan pentingnya support keluarga, sejak sekarang semestinya sudah menyadari bahwa keluarga adalah titik tolak segalanya. Ayo kita sayangi keluarga. Hmm… Anda mau tahu siapa saja sahabat Latief yang dituliskan dalam buku ini? Coba deh baca Selasar Empat. Aih, ternyata di situ juga ada tulisan berjudul “Koin Penyok Milikku” yang bercerita tentangku. Aduh, makasih ya, Tif. J

 

Selasar Lima tentang Entrepreneurship adalah cerita tentang perjalanan hidup Latief tentang wirausaha. Sama seperti yang sebelumnya, sekalipun judul Selasar Lima ini sedikit serius dan berkaitan dengan gelar akademik Latief sebagai Sarjana Ekonomi dan Master Komunikasi Publik, tapi di dalamnya terdapat humor segar yang bisa bikin Anda ketawa.

 

Ada apa di Selasar Enam? Kenapa catatan tentang cinta diletakkan di Selasar paling akhir? Barangkali Anda juga akan memiliki pertanyaan-pertanyaan yang sama seperti di atas. Namun, jawaban pastinya hanya Latief dan Allah yang tahu J. Lepas dari apakah ada alas an historis (sengaja ditulis belakangan daripada lainya), sosiologis (kesibukan Latief dengan kehidupan sosialnya), atau psikologis (kisah kasih Latief yang sempat ‘berhenti’ karena ditinggal sang kekasih sehingga ia trauma). Sekali lagi, lepas dari itu semua, membicarakan ‘cinta’ memang lebih asyik dalam suasana yang romantis, setelah semua terbaca maka di akhir inilah kita bisa mereguk betapa indahnya cinta. Mari simak doa Latief tentang cinta:

 

“Ya Allah, jangan biarkan cintaku pada makhluk-Mu melebihi cintaku pada-Mu,

 jadikanlah cintaku pada-Mu melebihi cintaku pada wanita, harta, jabatan, kedudukan,

air segar di saat kehausan, dan makanan di saat kelaparan.

 Jangan biarkan aku menyempurnakan cinta yang fana dan meninggalkan-Mu,

 karena hanya Engkaulah cinta sejatiku.

Kalaupun Kau siapkan jodoh untukku.

Buatlah pertimbanganku berdasarkan pada ketakwaan,

bukan karena kecantikan, kekayaan, dan keturunan.

 Dan semoga saja wanita yang Kau pilihkan itu adalah ‘dia’.”

 

PERTAMA, BUKAN YANG TERAKHIR

Itulah beberapa kejadian hidup yang menyentuh hati Latief sehingga ia menorehkannya dalam lembaran putih ini. Tidak hanya untuk dikenang, tapi juga untuk diambil hikmah di balik setiap cerita yang menurut majalah Ummi dinobatkan sebagai buku penggugah jiwa.

 

Ibarat orang berenang, Latief sudah terjun dan menceburkan diri dalam kolam renang. Hanya ada dua pilihan baginya, melanjutkan sampai garis finish dengan menyeberangi kolam renang itu sekuat tenaga, atau balik naik ke atas lagi dan tidak pernah disebut sebagai perenang. Latief sudah menerbitkan buku perdananya dan menceburkan diri dalam kolam literasi, hanya ada dua pilihan baginya: terus berkarya dan menerbitkan buku selanjutnya, atau cukup satu dan terima kasih? Saya berharap Latief memilih yang pertama, dan saya merasa yakin Anda pun berharap yang sama, kan?

 

 

 

Candita = Catatan Edi Hudiata

Selasa, 19 Oktober 2010 Pukul 23.16 WIB

Di tengah bedrest, kupersembahkan cerita ini untuk sahabatku, Abdul Latief,

Selamat berkarya, sahabat!