MIMPI ITU AKHIRNYA BERTEPI
[cerita tentang mimpi seorang sahabat]
CANDITA #15

“Bukan seberapa besar mimpimu,
tapi seberapa besar kamu untuk mimpi itu.”
(Guru Balya, dalam film “Sang Pemimpi”)

BERAWAL DARI MIMPI
Jumat malam pukul setengah sepuluh saya baru tiba di rumah setelah mengikuti acara selametan dan asyik berbincang dengan sahabat, keluarga dan tokoh masyarakat di kediaman Entol Zainal Muttaqien (Kiki), Cipocok, Serang. Malam itu, sahabatku yang pernah bareng duduk di bangku Madrasah Aliyah itu, tengah mengadakan syukuran dan baca doa bersama untuk keselamatan dan kelancaran penerbangannya ke Negeri Kincir Angin, Belanda, pada Minggu (31/01) dini hari. Lebih dari itu, pembacaan doa bersama itu adalah bentuk dukungan moril betapa bangganya kami sebagai sahabat memiliki seorang sahabat yang berhasil mendapatkan beasiswa Indonesian Young Leader, dari Leiden University.

Dalam suasana penuh syukur dan bahagia itu, kami (Saya, Irfan [kawan saya di Mesir yang juga sepupu Kiki], dan Kiki) juga berbincang hangat dengan sang ibunda Kiki. Dengan penuh bangga ia menceritakan betapa anaknya telah bercita-cita studi ke Belanda sejak kelas lima Sekolah Dasar. “Ibu masih inget dulu, Kiki waktu kelas lima SD pengen ke Belanda, sampe-sampe kalo tidur selalu ngomong Belanda.” kenang Sang Bunda penuh haru. Dan kini,—entah sadar atau tidak saat Kiki ingin ke Belanda dalam usia anak-anak— cita-cita yang didambanya telah ada di depan mata. Di tangannya telah ada student visa untuk menetap di ‘Negeri Oranye’ selama kurang lebih delapan belas bulan dalam rangka menuntut ilmu.

Selama berbincang, sesekali Kiki bercerita perihal kehidupan yang akan diajalaninya di Belanda. “Kami mendapatkan beasiswa perbulan sebesar 870 Euro, kalau dirupiahkan sekitar sebelas jutaan,” cerita Kiki penuh semangat. Saya dan Irfan tercengang takjub. “Wah, dua bulan dapet beasiswa di Belanda, bisa buat modal bikin warnet nih, Fan…” saya berseloroh sambil tersenyum renyah ke arah Irfan yang baru saja membuka gerai warnet “Bayonet” di Menes. Irfan pun tertawa. “Tapi,” Kiki melanjutkan ceritanya, “biaya hidup di sana mahal, untuk makan saja bisa sampai 50 Euro sekali makan.”

Barangkali jika kita menghayati apa yang diinginkan Kiki sejak kelas lima Sekolah Dasar itu, tentunya kita akan berpendapat tidak mungkin anak usia sekitar sebelas tahun sudah berpikir tentang luar negeri. Tidak mungkin anak Sekolah Dasar memiliki fikiran melompat jauh ke sana. Tidak mungkin, dan begitu seterusnya. Dan, tentu saja, saat itu kita akan sepakat mengatakan bahwa Kiki sedang bermimpi.

KIKI, DULU DAN KINI
Saya mulai mengenal Kiki sejak sama-sama duduk di kelas satu sampai kelas tiga Madrasah Aliyah Daar el-Qolam, Gintung, Jayanti, Tangerang. Saat itu, saya dan sebagian teman-teman lain mengenalnya sebagai seseorang yang tidak mudah bersahabat karena tampangnya yang terlalu ‘serius’. Tidak bisa diajak bercanda dan tertawa bersama. Tidak bisa diajak ‘cincai’ urusan pelajaran, dan sejumlah perkiraan lainnya.

Benar saja, apa yang kami perkirakan itu terjadi! Pada suatu ketika di kelas, saat jam pelajaran Bahasa Indonesia, Kiki datang ke kelas dengan membawa setumpuk buku ilmiah! Yang saya ingat saat itu, dialah orang yang pertama kali membawa buku “Membumikan Al-Quran” karangan M. Quraisy Shihab, ke kelas dan kemudian mendiskusikannya dengan guru Bahasa Indonesia.

Cerita masa sekolah bersama Kiki pun semakin variatif. Kiki yang bersifat ‘dingin’ itu benar-benar menjadi obyek dalam setiap canda tawa kami saat itu. Tapi Kiki tak bergeming, ia tetap seperti apa adanya: serius dalam segala hal. Meski begitu, ia selalu diidolakan oleh kami dalam urusan berdiskusi. Urusan membuat makalah, meminjam buku di perpustakaan, membaca rujukan, sampai ke foto kopi makalah, Kikilah yang selalu kami andalkan. Tak ayal, setiap pelajaran Bahasa Indonesia, khususnya diskusi, kami selalu ingin satu kelompok bersama Kiki.

Suatu ketika menjelang Haflah At-Takhrîj (Wisuda Perpisahan) santri kelas enam angkatan tahun 2002, biasanya diadakan penyampaian pidato ucapan terima kasih dalam tiga bahasa (Arab, Inggris, dan Indonesia) oleh wisudawan/wisudawati angkatan tersebut. Setiap orang yang bertugas dalam acara Haflah At-Takhrîj tersebut akan merasa bangga karena tampil di ajang paling bergengsi di pesantren, mulai dari Ra-isah Jalsah (Pembawa Acara), qori (pembaca ayat al-Quran), penyampai pidato tiga bahasa, sampai mereka yang menjadi ‘pagar betis’ pengamanan pun ikut berbangga hati. Nah, saat itu, saya dan Kiki mendaftar untuk ikut audisi pidato Bahasa Inggris. Pesertanya hanya ada tiga orang, selain saya dan Kiki, juga ada Lilis, satu-satunya santriwati yang mengikuti audisi.

Singkat cerita, setelah mengikuti audisi dengan semangat empat lima, ternyata yang berhasil menjadi penyampai pidato ucapan terima kasih dalam Bahasa Inggris itu adalah Lilis. Selain karena Lilis adalah wisudawati yang mahir berbahasa Inggris, barangkali alasan lainnya adalah karena gender, keterwakilan wisudawati untuk menyampaikan pidato ucapan terima kasih itu dibutuhkan untuk menyeimbangi wisudawan, karena ternyata tak ada satupun wisudawati yang muncul untuk audisi pidato bahasa Arab dan Indonesia. Alhasil, saat itu yang menjadi penyampai ucapan terima kasih dalam bahasa Arab adalah Wandi, sementara dalam bahasa Indonesia adalah Khaerul Azmi, sahabatku yang kini tengah menyelesaikan penulisan tesis Master-nya di UIN Surabaya. Dengan wajah berseri dan penuh haru, Kami pun akhirnya hanya menjadi peserta wisudawan tanpa mendapat tugas di ajang paling bergengsi dan disaksikan oleh para wali santri tersebut.

Kenangan kami dalam audisi pidato bahasa Inggris itu menjadi cerita terakhir di pesantren, karena setelah itu kami memulai kehidupan baru di bangku kuliah. Saya melanjutkan studi di Universitas Al-Azhar, Cairo, Mesir, mengambil konsentrasi Syariah Islamiyah. Sementara Kiki melanjutkan ke Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Ciputat, mengambil konsentrasi Hukum Pidana Islam.

BERSAMA MENGEJAR MIMPI
Bukan karena ikut-ikutan teman, saya pun sesungguhnya ingin melanjutkan studi pasca sarjana di Belanda. Karenanya, usai menyelesaikan studi di Al-Azhar, saya searching informasi berkaitan dengan beasiswa ke Belanda, dan akhirnya saya ketemu lagi dengan kawan lama yang sudah empat tahun tak bersua, Entol Zaenal Muttaqien, alias Kiki. Entah kenapa kami ternyata mempunyai mimpi yang sama yaitu melanjutkan studi ke Belanda. Kemudian kami pun mendaftar ke Netherland Education Centre (NEC) dengan mengirimkan beberapa syarat seperti pada umumnya, diantaranya: proposal tesis dan rekomendasi dari dua profesor. Selama proses itu, kami dibimbing oleh Mr. Mufti Ali, Ph.D, dosen IAIN Sultan Maulana Hasanudin Banten, yang pernah mendapatkan beasiswa ke Belanda. Kerendahan hatinya menghantarkan banyak anak didik untuk sampai ke Leiden University. Namun sayang, pada saat itu kami sama-sama belum diterima.

Akhirnya kami pun menjalani kehidupan masing-masing. Saya bekerja, sementara Kiki melanjutkan studi pasca sarjana di Unpad, mengambil konsentrasi Hukum Tata Negara. Tentu saja, Ayah Kiki yang konsen di dunia akademisi sangat mendukung penuh rencananya tersebut. Dan kini, ia telah berhasil menyelesaikan gelar MH-nya. Bahkan, karena usahanya yang tak kenal lelah, ia pun kembali mendaftar untuk mendapatkan beasiswa ke Belanda. Dan Anda tahu apa hasilnya? Luar biasa. Kiki berhasil mendapatkan beasiswa ke Belanda! Proposal tesis yang diajukan “Terorism on International Islamic Law” berhasil menghantarkannya menyabet beasiswa itu bersama 6 orang lainnya di bidang islamic studies. Tentu saja, ia didukung dengan kemampuan bahasa Inggris diatas minimal TOEFL 550.

Sebuah usaha yang luar biasa dan hanya dilakukan oleh orang yang luar biasa pula. Selamat, sahabat. Mimpimu akhirnya bertepi, kutitipkan padamu seonggok salamku untuk Negeri Kincir Angin itu. Bisikkan padanya: bersiaplah untuk menyambutku , Engkau tentu tahu betapa ‘cemburu’-nya saya padamu.

Mengakhiri Candita kali ini, izinkan saya mengutip kalimat seperti yang diucapkan Guru Balya dalam film Sang Pemimpi, “Bukan seberapa besar mimpimu, tapi seberapa besar kamu untuk mimpi itu?”, lalu sudahkah kita membesarkan diri untuk mewujudkan mimpi-mimpi hebat kita?

Candita = Catatan Edi Hudiata
Sabtu, 30 Januari 2010 Pukul 22.20 WIB
Di keheningan malam minggu, kupersembahkan cerita ini untuk sahabatku, E. Zainal Muttaqien, selamat berjuang sahabat!