Mengenang Guruku, Drs. H. Suryadi, SH, M.Hum

Sosok Yang Dirindu

Pertama kali saya mengenal Drs. H. Suryadi, SH, M.Hum di Pengadilan Tinggi Agama Banten sekitar Juli 2007 yang lalu. Setelah saya memperkenalkan diri mengenai latar belakang pendidikan, kemudian ia menanyakan: “Santrinya Ustadz Rifai yah?” dengan nada datar dan senyum ramah yang tak terlupakan. Saya mengangguk, kemudian tiba-tiba saya merasa bertemu dengan sosok Kyai yang sangat saya rindukan kehadirannya.

Kami terlibat dalam percakapan layaknya guru dan murid. Beliau menanyakan kondisi pesantren yang dulu pernah saya sekolah, Daar el-Qolam. Tak lama kemudian, beliau berbincang dengan bahasa Arab khas pesantren. Akhirnya, setelah berbincang panjang-lebar saya baru tahu bahwa beliau alumni Gontor. Beliau mengatakan, “Saya satu angkatan dibawah Kyai Rifai…”. Perbincangan itu mengawali perkenalan sang murid dan sang guru yang senantiasa bersikap sederhana. Dan sejak saat itu, beliau tak pernah mengajak ngobrol dengan saya kecuali menggunakan bahasa Arab.

Hari-hari berikutnya saya jalani dengan penuh semangat. Tiap hari ada semangat baru untuk bertemu sang guru karena pasti ada satu hal yang saya dapatkan darinya: ilmu baru. Semakin lama berinteraksi dengannya, saya semakin menyadari terasa bodoh diri ini.

Selalu Ada Waktu Untuk Membaca

Kita pasti mengenal statemen yang sudah populer: Uthlubil ilma minal mahdi ilal lahdi, tuntutlah ilmu dari buaian hingga liang lahat. Barangkali atas dasar itu Drs. H. Suryadi SH, M.Hum mengajak kepada orang-orang di sekitarnya agar mau membaca dan menimba ilmu. Hal ini terbukit dengan adanya pengajian rutin di Pengadilan Tinggi Agama Banten yang langsung dibimbing olehnya. Setiap hari Senin dan Kamis ada kultum atau tausiyah selepas shalat dzuhur berjamaah yang disampaikan oleh para Hakim Tinggi.

Di hari Rabu juga selepas shalat dzuhur jamaah ada pengajian kitab, baik kontemporer maupun klasik. Ada beberapa kitab yang sempat dikaji diantaranya: Al-Taaj; al-Jaami’ Lil Ushuul Li-Ahaadiits al-Rasuul (Al-Taaj; Kumpulan Dasar-dasar Hadits Rasulullaah) karangan Syekh Manshur Ali Nasif salah seorang ulama dari Universitas Al-Azhar Cairo, buku ini sepertinya ia dapatkan saat berkunjung ke Cairo mengikuti pelatihan hakim. Saat mengaji kitab ini banyak dibahas tentang hukum perdagang berdasarkan hadits-hadits Rasulullah saw. Namun, tak hanya itu, Kyai Sur (Drs. H. Suryadi, SH, M.Hum) juga mengkombinasikannya dengan hukum-hukum konvensional sehingga para pendengar mendapatkan gambaran yang komprehensif.

Selain itu ada juga kitab al-Mu’aamalaat al-Maaliyah al-Mu’aashirah (Transaksi Ekonomi Modern) karya Prof. Dr. Wahbah Zuhaily, MA yang terkenal dengan masterpiece-nya Al-Fiqh al-Islaam wa Adillatuhu (Fikih Islam dan Dalil-dalilnya). Di kitab ini juga kami banyak mendapatkan ilmu tentang ekonomi Islam. Nampaknya, Kyai Sur memang konsentrasi di hukum ekonomi Islam sebagaimana tesis Masternya yang mengangkat tema Studi Komparatif Antara Perbankan Syariah dan Perbankan Umum. Keluasan ilmunya nampak saat ia menyampaikan materi dengan berbahasa Arab dan Inggris. Maka, saya sangat setuju dengan Asep Nursobah di www.badilag.net yang menulis analogi Kyai Sur sebagai: “Kecerdasan dalam Kesederhanaan.” Dan sangat pantas jika ia dilibatkan dalam pertemuan dengan Family Court of Australia, karena selain bahasa Arab, Kyai Sur juga pandai berbahasa Inggris.

Kecintaannya untuk membaca buku tidak saja terlihat saat ia sehat. Bahkan, kegemaran positif itu juga ia lakukan di saat ia sedang sakit. Saya teringat suatu ketika saat ia beristirahat di rumah karena sakit. Ia mengirimkan pesan singkat: “Akhuna Edi, ta’ala ila baitii lau musy masygul…” (Sdr. Edi, mari kerumah jika tidak ada kesibukan…). Saya segera ke rumahnya dan sesampainya di sana saya disambut dengan senyum—yang bagi saya sangat khas—Kyai Sur.

Kyai Sur masuk ke dalam kamar dan mengambil sesuatu. Begitu keluar kamar, saya lihat beliau membawa buku saku berbahasa Arab, judulnya: Shahiih al-Bukhaari. Setelah duduk ia mengatakan: “Iqra` haadzal kitaab.” (Bacalah kitab ini). Saya pun membaca daftar isinya seperti yang ia inginkan sampai pada satu bab “Wasiat” dan “Addiin al-Nashihah” (Agama adalah Nasihat), ia minta untuk dibaca secara lengkap dan kemudian ia menjelaskan bahwa hidup beragama harus ikhlas. Penjelasannya ia lengkapi dengan dalil dari hadits dan al-Quran. Dan, ia menjelaskan sambil terlentang istirahat. Subahanllah, begitu kuat semangat menimba ilmunya. Saya iri pada keluasan ilmunya.

Bahkan saat dirawat di RSUD Serang ia tak berhenti membaca. Ia memanggil saya dan berbisik pelan: “Fil jayb maujud al-kitab, khud-hu wa-iqra lii” (Ada kitab dalam saku baju, ambilkan dan bacakan untuk saya). Kitab itu adalah Riyaadlus Shaalihiin.

Allah Menyayangi Hamba-Nya yang Shaleh

Jika kita menyayangi sesuatu, tentunya kita selalu menginginkan sesuatu itu ada di dekat kita. Begitupun dengan hamba Allah yang Shaleh. Konon, jika seorang hamba disayang Allah, ia akan dijaga dari dosa-dosa dan bahkan ia akan dipinta untuk berada di dekat-Nya. Saya pun merasa demikian dengan apa yang terjadi pada Kyai Sur. Allah menyayanginya, sehingga Allah menginginkan ia berada di dekat-Nya.

Saya teringat dulu saat Kyai Sur menjelaskan tentang kematian, “Kullu man ‘alaiha faanin…/Segala yang ada di atas dunia adalah fana…” katanya sambil menerawang ke atas langit. Kata-katanya begitu dalam.

Kini, Kyai Sur telah dipanggil menghadap-Nya. Ia akan bahagia jika orang-orang yang ditinggalnya bersabar dan bisa memenuhi keinginannya yang belum sempat ia wujudkan. Hingga saat saya menuliskan ini, saya masih teringat senyum sahaja yang senantiasa ia tampilkan pada siapapun ia bertemu. Selamat jalan, Pak Kyai… [Edi Hudiata]