KONTRAK KERJA = KONTRAK HIDUP

CANDITA #21

EM-O-YU

Setiap kita akan bekerja di sebuah perusahaan, biasanya kita disuruh tandatangan kontra kerja yang diantara lain isinya seputar kewajiban yang harus dilakukan oleh kita sebagai pekerja, dan hak yang bisa kita terima setelah melaksanakan kewajiban itu.

Nah, tidak jauh beda dengan kehidupan kita di dunia ini, juga punya kontra kerja [tidak tertulis] antara kita sebagai hamba, dan Allah sebagai Tuhan. Jika kita diibaratkan pekerja, maka Allah adalah Pemilik Perusahaannya. Jika kita diibaratkan kreditur, maka Allah adalah debiturnya. Jika kita diibaratkan penyewa, maka Allah adalah pemilik sewaannya. Sewaan itu bisa berbagai bentuk, diantaranya: sewa hidup, sewa nyawa, sewa nafas, sewa panca indera, sewa kebahagiaan, sewa kesedihan, dan lain-lain.

Kontrak kerja itu memang tidak tertulis, tetapi sudah terpatri di dalam hati sejak kita berada dalam kandungan ibu dan ditupkan ruh kedalam jasad. Nah, sebenarnya (menurut sependek pengetahuan saya), kita sebagai manusia telah menandatangai kontrak hidup di dunia ini dengan berbagai kewajiban dan hak yang ada di dalamnya.

Kewajiban itu diantaranya adalah melakukan rukun iman dan rukun islam. Sementara hak-haknya adalah kebahagiaan dunia dan akhirat.

Diantara kewajiban di atas yang ingin dibicarakan di sini adalah tentang kewajiban shalat. Kenapa harus shalat yang dibicarakan di sini, bukan yang lainnya? Karena shalat adalah hal pertama untuk menentukan amalan kita selanjutnya, segitu pentingnya shalat sampai Rasul bilang “Awwalu maa yuhaasabu bihil ‘abdu al-shsholaatu” (hal pertama yang dipertimbangkan dari seorang hamba adalah sholat [Hadits An-Nasaa-i]).

Coba deh renungkan, di antara rukun islam yang lima berupa syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji. Shalatlah yang pertama kali akan ditanyakan. Jika kita merujuk pada istilah yang digunakan para pakar fikih (terutama beberapa buku diktat fikih terbitan Universitas Al-Azhar) berkenaan dengan urutan, maka akan banyak ditemukan bahwa “adanya nomor urutan itu menunjukkan prioritas”. Jadi, jika dalam wudlu, membasuh tangan harus dilakukan setelah membasuh muka, maka mau tidak mau, suka atau tidak suka, urutan itu mutlak dipatuhi sekalipun tidak ada polisi (inget iklan “Tanya Kenapa?” hehe). Makanya, “tertib” dijadikan rukun wudlu nomor terakhir demi menjamin terlaksananya semua rukun secara berurutan.

Lain halnya dengan shalat. Meskipun dalam rukun Islam disebutkan dalam urutan kedua setelah syahadat, tetapi berdasarkan literatur agama berupa hadits tersebut di atas, shalat menempati prioritas terpenting sehingga disebutkan sebagai hal yang pertama kali ditanyakan.

Jadi, berdasarkan literatur agama, kita meyakini bahwa shalat itu penting. Disusul kemudian banyak teori kedokteran yang juga menyatakan pentingnya shalat sebagai terapi kesehatan. Ada juga yang mengatakan shalat menjadi kunci kebahagiaan seseorang. Maka, dari sekian banyak teori yang menyebutkan pentingnya shalat, perkenankanlah saya merumuskan: jika kamu ingin menilai seseorang, lihatlah caranya untuk mendirikan shalat.

Eitsss… Sebelum lanjut baca ini, saya harap kamu jangan punya anggapan kalau saya sok pamer sudah sampai pada tingkatan yang mampu mendirikan shalat dengan baik. Plis, jangan sampai beranggapan gitu yah. Sama sekali bukan itu. Tulisan ini murni untuk memotivasi saya yang galau tak kunjung menemukan keteguhan iman. Hiks (sedihnya).

SAYA PUNYA CERITA

Saya punya cerita tentang beberapa orang yang saya kenal dan caranya mendirikan shalat. Dengan harapan semoga saya dan kamu terinspirasi oleh kebaikannya. Kenapa saya gunakan istilah ‘mendirikan’ bukan melaksanakan, menjalankan, atau melakukan? Sebab, konon katanya kata ‘mendirikan’ ini lebih komprehensip makna dan cakupannya. Mendirikan itu punya tiga dimensi utama, yaitu: sebelum shalat, saat shalat, dan setelah shalat.

Cerita Pertama. Saya punya teman yang keluarganya sangat yakin bahwa shalat itu harus dilaksanakan awal waktu. Terbukti saja, dalam setiap kesempatan saya menemukan satu keluarga itu sangat menghormati kedatangan shalat. Kira-kira sepuluh menit sebelum azan shalat berkumandang, mereka sudah menghentikan berbagai kegiatan yang sedang mereka lakukan, untuk segera bersiap-siap mendirikan shalat. Mereka berwudlu, berganti pakaian shalat, menuju mushola rumah, shalat sunah wudlu, shalat sunnah qobliyah, shalat sunnah fardlu, shalat sunnah ba’diyah, dan zikir bersama melafalkan istigfar wali “astagrfirullah robbal barooyaa, astagfirullah minal khtooyaa” sebanyak-banyaknya.

Cerita Kedua. Teman saya yang lain juga punya ciri khas tersendiri untuk mendirikan shalat. Jika dalam keseharian, pakaian yang dia kenakan itu belel, atau dalam bahasa Cicaheum “dekil and de kummel”, tapi giliran tiba waktu shalat, dia sudah siap sarung dan seperangkat alat shalat lainnya dalam tas. Padahal, setahu saya, pemikirannya lebih cenderung ke ‘kiri-kirian’ (maunya belok kiri terus kayanya hehehe).

Cerita Ketiga. Ada teman saya yang sangat menghormati shalat sehingga dia tidak mau melewatkannya begitu saja, atau (ting bating-bating_ bahasa sangsekerta) sengaja membiarkan waktu shalat itu berlalu sampai menyengaja dijamak tanpa alasan yang kuat. Misalnya saat sedang di perjalanan, meskipun jauh, sedapat mungkin dia tidak menjamaknya, tapi mendirikannya sesuai waktunya di masjid yang ia temui di pinggir jalan (bukan di jalan yah, kalau shalat di jalan mah takut ketabrak becak hohoho).

Atau saat sedang melakukan suatu kegiatan yang membutuhkan waktu seharian (pernikahan, belanja di mall, seminar, dll), yang menurut logika sangat ‘merepotkan’ jika harus mendirikan shalat dzuhur dan ashar secara terpisah sesuai waktunya. Apalagi untuk para perempuan yang make-up pastinya kondisi begini akan sangat dilematis, bagaikan lagu “madu dan racun” (hahay lebay…).

Yang paling lucu menurut saya, ketika kita ada pada kondisi seperti diatas, kita berkesimpulan untuk menunda shalat dan menjamaknya dengan shalat berikutnya, tapi untuk urusan makan kita tidak mau ketinggalan apalagi sampai kehabisan. Jadi, kalau makan saja bisa kita lakukan sesuai jadwal, kenapa shalat belum bisa? Kalau shalat bisa dengan mudah kita tunda, kenapa makan tidak? Hohoho.. jawabannya pasti karena makan itu adalah kebutuhan, sementara shalat? Mungkin belum masuk daftar belanjaan ‘needs’ kali yah… hehe. Hayu lah, kita jadikan shalat sebagai kebutuhan, supaya bisa mendirikan sesuai waktunya J

Menurut Prof. DR. KH. Google.com Lc, L.LM, P.hD, kata “shalat” yang sebelumnya diawali dengan “aqiimuu” (dirikanlah) disebutkan sebanyak 17 kali, sama seperti jumlah rakaat pada lima kali waktu shalat dalam satu hari. Barangkali selain menunjukkan kemujizatan al-Quran dengan harmonisasi jumlah kata yang sesuai dengan jumlah rakaat, disebutnya kata shalat sebanyak 17 kali ini juga sebagai pertanda agar kita ingat dengan Kontrak Kerja dengan Allah sebagai Pemilik Perusahaan. Masih ingat kan, kalau kita punya kontrak kerja dengan Allah? Hayoo, jangan pura-pura lupa melaksanakan kewajiban ah… hehe…

Ok deh, kira-ira tiga puluh menit lagi, waktu azan dzuhur berkumandang nih untuk wilayah Tangerang dan sekitarnya. Pamit yah, mau online dulu hahayyy… maksudnya mau shalat ding, insyaAllah… J

Candita = Catatan Edi Hudiata

Selasa, 07 juni 2011 Pukul 11.27 WIB

Menulis di ruang IT ditemani Ncing Dewo, Bang Irvan,

dan iringan musik jadul pilihan Dewo