BUKAN APA YANG KAMU BERIKAN,

TAPI BAGAIMANA CARA KAMU MENYAMPAIKANNYA

[setiap orang punya cara sendiri]

CANDITA #16

“Memberikan sedekah Rp. 500,- dengan senyum dan doa kebaikan,

jauh lebih baik daripada memberikan sedekah Rp. 50.000,-

dengan cara dilemparkan dan raut muka mencibir.”

(Edi Hudiata, dalam berbagai renungan)

‘APA’ VERSUS ‘BAGAIMANA’

Dalam berbagai hal dan keadaan, saya lebih tertarik dengan pertanyaan ‘bagaimana’ ketimbang ‘apa’. Alasannya sederhana, jika menggunakan kata ‘bagaimana’ maka jawabannya sangat luas dan komprehensif. Jawaban dari pertanyaan itu tidak dibatasi oleh pagar tekstual yang justru akan mengkerdilkan cara berpikir seseorang. Biarkanlah seseorang menjawab pertanyaan ‘bagaimana’ sesuai dengan cara berpikirnya, karena itu adalah hak prerogatif seseorang dalam menjalani hidup.

Sebagai contoh sederhana, jawaban dari pertanyaan sapa ‘apa kabar’ akan berbeda dengan pertanyaan ‘bagaimana kabar’, sekalipun secara kasat mata keduanya nyaris sama. Nggak percaya? Yuk, kita coba jawab. Untuk pertanyaan pertama, bisa saja kita menjawab singkat seperti: ‘baik’, ‘alhamdulillah’, ‘seperti biasa’, dan sebagainya, yang hanya satu kata. Tapi, untuk pertanyaan kedua, kita bisa menjawabnya lebih dari itu, bisa dengan ‘baik, tapi agak sedikit pusing kepala karena semalem abis bergadang…’, atau ‘alhamdulillah baik-baik aja, seperti yang Anda lihat sekarang…’, atau ‘seperti biasa, hari ini lebih baik dari sebelumnya…’ dan lain sebagainya. Bagi saya, pertanyaan ‘bagaimana’ secara psikologis mendatangkan energi positif untuk kita menjawab dengan penuh sugesti dan harapan.

Lebih dari itu, pertanyaan ‘bagaimana’ sejatinya tidak hanya menstimulasi otak kiri, yang bertugas untuk menganalisa dan mengatur sesuai norma dan peraturan yang ada. Tetapi, pertanyaan ‘bagaimana’ juga melatih otak kanan kita yang berfungsi sebagai mesin kreativitas agar keduanya seimbang. Saya jadi teringat masa kuliah dulu, jika ada pertanyaan ‘bagaimana’ berarti kita diperkenankan untuk mengeksplorasi apa yang kita tahu tentang hal yang ditanyakan. Terserah kita, dari manapun sudut pandang yang kita gunakan. Sehingga, pertanyaan yang hanya satu baris [itupun tidak penuh], bisa jadi jawabannya berlembar-lembar. Apa pasal saya senang pertanyaan ‘bagaimana’ dalam soal ujian di kampus? Karena saya termasuk yang tidak mampu tekstual, sesuai dengan apa yang ada di buku. Lebih dari itu, karena saya memang jarang baca buku hehe…

Dalam laman The Daily Telegraph, disebutkan otak kiri berfungsi untuk sesuatu yang: logis, detil, fakta, kata dan bahasa, masa kini dan masa lalu, matematis dan ilmiah, memahami, kepastian, praktis, dan sejenisnya. Sementara otak kanan berfungsi untuk yang: berkaitan dengan perasaan, imajinasi, simbol dan gambar, masa kini dan masa yang akan datang, apresiasi, fantasi, dan sejenisnya. Dalam laman tersebut juga terdapat sebuah gambar untuk menguji apakah kita termasuk yang banyak menggunakan otak kanan atau otak kiri, atau seimbang di antara keduanya. Anda tertarik? Silakan berkunjung ke laman itu J

MENEMUKAN CARA

Caption yang saya tuliskan di atas mengawali Candita kali ini hanya sebuah renungan dari berbagai hal peristiwa yang terjadi dalam hidup saya dan orang-orang sekitar. Bisa jadi hal itu Anda alami juga, atau bahkan tidak pernah sama sekali, it’s doesn’t matter. Dari interaksi dengan sahabat-sahabat, rupanya saya mendapatkan sesuatu, bahwa untuk menunjukkan kasih sayang banyak caranya. Ada yang menunjukkannya dengan pujian, ada yang memberikan hadiah, dan ada juga yang mengkritiknya. Barangkali yang menyampaikan kasih sayang dengan kritik itu, terinspirasi oleh sebuah statemen tak bertuan, “Cinta tak selamanya disampaikan dengan kata indah penuh pujian, tapi sesekali cinta juga butuh disampaikan dengan kritik yang membangun”. Maka, tak heran jika kita sering melihat banyak terjadi demonstrasi, itu—mudah-mudahan—salahsatu indikasi bukti cinta mereka kepada pemimpin negeri ini.

Berbicara tentang menemukan cara, saya jadi teringat tanggal 25 Maret kemaren, saat saya menghadiri acara soft launching buku “Birokrasi Politik dan Kosmetik” milik H. Kurdi Matin, Staf Ahli Gubernur Banten bidang Pemerintahan. Saya tidak bermaksud membedah isi bukunya, tetapi yang ingin saya ceritakan adalah kenapa H. Kurdi Matin menggunakan tanggal 25 Maret sebagai hari peluncuran bukunya yang kedua. Filosofi dasarnya karena tanggal itu adalah hari kelahiran putra pertamanya yang juga sahabat saya, Irfan Lirisfana. “Hari ini saya jadikan sebagai hari istimewa untuk peluncuran buku, karena hari ini bertepatan dengan hari lahir putra saya,” begitulah H. Kurdi Matin beralasan.

Sudah dua kali H. Kurdi Matin menjadikan tanggal kelahiran Irfan sebagai moment penting peluncuran bukunya, tentu saja, tidak lain karena ia ingin menunjukkan kasih sayang seorang bapak terhadap anak. Saya rasa, untuk peluncuran buku bisa saja dilakukan diluar tanggal lahir anaknya, tetapi itu tidak berbekas di hati putranya. H. Kurdi Matin telah menemukan cara menyampaikannya yaitu dengan peluncuran buku. Maka, berbahagialah Irfan, yang telah dirayakan hari jadinya dengan peluncuran buku.

Berbeda dengan H. Kurdi Matin, seorang kawan menyampaikan rasa sayang di hari jadi ibunya tercinta dengan mengumpulkan ucapan selamat ulang tahun dalam berbagai bahasa lalu membingkainya dengan frame cantik. Kawan yang lain, justru memasakkan masakan paling nikmat—menurutnya—yang ia bisa. Entah, saya kurang tahu persis, apa maksud makanan paling enak yang ia bisa itu, apakah mie instan atau sejenisnya, entahlah karena yang saya tahu kawanku itu hanya bisa masak air hihi…

SEKALI LAGI, CARA

Jika Anda diminta untuk memilih, mana yang akan Anda pilih: diberi pancake dengan cara dilempar, atau diberi dodol dengan senyum dan sahaja? Diantara Anda pasti ada yang memilih opsi ‘diberi pancake dengan senyum dan sahaja’, iya kan? Huufff…, cape deh… Opsinya hanya dua, kawan. Pancake dilempar atau dodol dengan senyum, tidak ada opsi ketiga. OK? J

Jika Anda mendengarkan hati kecil dan mengutamakan keseimbangan otak kanan dan kiri, secara otomatis akan mengarahkan kita pada pilihan kedua: dodol dengan senyum. Meskipun secara logika, pancake lebih memiliki taste dan prestise dibanding dodol. Tapi, rasa dodol dengan senyum itu akan mengalahkan pancake yang diberi dengan cara dilempar. Apa yang membuat rasa itu berubah? Tidak lain karena ‘CARA’!

Jika Anda termasuk orang yang terbiasa memberikan sedekah kepada anak jalanan, berikanlah dengan senyum dan doa yang baik, sekalipun yang Anda berikan tidak seberapa. Jangan tambah sedekah minimalis Anda dengan wajah yang tak bersahabat. Selipkan doa pada anak jalanan itu, “semoga ibadahnya rajin,” atau “semoga belajarnya semangat”, atau doa kebaikan lainnya, seperti yang disitir Nabi Muhammad dalam sebuah riwayat Muslim, “Jangan meremehkan sedikitpun tentang makruf (kebajikan) meskipun hanya menjumpai kawan dengan berwajah ceria (senyum).”

Setidaknya ada sepuluh alasan kenapa kita harus senyum, pertama, senyum itu ibadah. Kedua, Anda terlihat lebih manis. Ketiga, Anda bisa mendapatkan senyum lagi. Keempat, menunjukan keramahan Anda. Kelima, bisa mendapatkan teman baru. Keenam, memberikan kesan yang positif. Ketujuh, menjadikan Anda lebih ceria. Kedelapan, menjadikan Anda lebih percaya diri. Kesembilan, meringankan beban Anda. Kesepuluh, mengaktifkan senyawa kimia (chemistry) yang membuat Anda lebih sehat. Dan, yang tak kalah pentingnya konon senyum membutuhkan 13 urat syaraf, sementara cemberut membutuhkan lebih banyak yaitu 47 urat syaraf. Maka, tersenyumlah kawan…

Ah, dari pada banyak berteori, lebih baik saya segera menyudahi Candita ini dan berlatih untuk tersenyum dan mencari cara yang baik. J

Candita = Catatan Edi Hudiata

Selasa, 30 Maret 2010 Pukul 11.25 WIB

kupersembahkan cerita ini untuk mereka yang telah menemukan

cara menyampaikan sesuatu kepada orang yang mereka sayangi.